Langit masih menggantungkan mendung di atas sana,
awan gelap semakin merapat dan akhirnya titik-titik hujan turun membasahai muka
bumi ini. Seperti hal nya tangisan Ku yang selalu menghiasi pipi ku ini.
“Bagas...
ayo dong bangun, kenapa kamu diam saja? Aku kangen sama kamu, aku kangen maen
sama kamu, bicara sama kamu, makan ice
cream sama kamu, ke toko buku sama kamu, aku kangen Gas... ayo bangun...!”
Bibir tipis ku bergetar sambil menatap seseorang yang sangat berarti dalam
hidupku, yang sekarang hanya terbaring lemah, pucat dan tak berdaya. Sakit yang
di deritanya telah menyita tiga hari hidupnya.
“Bagas...
kenapa sih banyak banget selang di tubuh kamu? Kenapa sih kamu harus tidur di
tempat yang pengap ini? Suster itu kejam sama kamu, kenapa sih kamu nggak di
biarin bebas aja? Pasti sakit ya? Ayo Gas... cerita sama aku!Jawab Gas... jawab! Kenapa kamu diem aja?
Ngomong gas....!!!” tangis ku makin menjadi ku genggam tangan dingin kekasih
ku, ku belai wajahnya yang pucat, ku tenggelamkan wajah ku dalam keheningan
malam. Tiba-tiba sentuhan tenang dibahu ku telah menyadarkan ku, wanita separuh
baya itu menatap ku penuh dengan rasa haru seakan ia juga merasakan apa yang
tengah aku rasakan.
“Satu
hal yang akan di sesali oleh Bagas, yaitu melihat orang yang paling ia cintai
menangis di hadapannya” wanita itu memandang nanar ke arah Bagas.
“Maksud
Tante?” menatap wanita itu sambil menyeka air mata ku.
“Tak
pernah sebelumnya Tante melihat Bagas segembira Sabtu sore itu, tentang
pertemuanya dengan seorang gadis di sebuah toko buku,” wanita itu menerawang
jauh seakan peristiwa itu terulang kembali kata-kata Bagas masih terdengar
jelas di telinganya dan ia pun melanjutkan ceritanya. “Dia bilang “Bunda mesti ketemu dengan gadis itu, dia
baik pintar, cantik dan mirip sama Bunda, Nama nya Nadya”
Iya,
itulah Nama ku, memang benar sabtu sore itu aku bertemu dengan pemuda di sebuah
toko buku dan tak pernah terlintas sedikitpun untuk mencintai pemuda itu
seperti sekarang.
“Nad...
tega kah kamu melihat Bagas yang setiap hari harus mendengarkan tangisan mu? tangisan
yang membuatnya semakin terluka, tak pernah kah kau lihat dia meneteskan air
mata meskipun matanya terpejam? Sadar kah kamu bahwa tangisan mu adalah
penderitaan bagi Bagas? Bagas tak akan pernah rela melihat orang yang paling ia
cintai menderita seperti ini! Berhenti menyiksa Bagas, jika kamu benar-benar
mencintainya. Berhenti menangis Nadya...tersenyumlah karena dengan senyumanmu
lah Bagas dapat bertahan hidup, Yang Bagas harapkan adalah kebahagiaan mu
Nad... bukan tangisan mu!”
Air
mata terus mengalir tanpa henti, aku tidak kuat jika harus mendengar kata-kata
itu, aku berlari keluar dari ruangan, berlari sekencang mungkin semakin deras
pula air mata ku saat itu. Lalu aku memutuskan untuk pulang kerumah.
Ku rebahkan tubuh ku yang terasa hancur berantakan
bersama hati dan fikiran ku, perlahn mataku mulai terpejam.
***
“Nadya... maafkan aku, aku tak bisa
menepati janji ku, janji untuk menjagamu.
Maafkan aku jika aku harus meninggalkan mu, Maafkan
aku karena aku belum sempaat membahagiakan mu... Selamat tinggal Nadya... CINTA KU KAN TETAP DI HATI MU“ awan hitam
menyeret tubuh Bagas kedalamnya, angin kencang melepaskan genggaman ku, sosok
Bagas semakin menjauh hingga tangan ku tak dapat meraihnya, pelan-pelan Bagas
menghilang dalam kegelapan itu.
“Bagas...BAGAS!!!!!!!!”aku
terbangun dari tidurku keringat dingin bercucuran membasahi seluruh tubuh ku
nafas ku tak beraturan, huft ternyata
hanya mimpi tapi mengapa perasaan ku tidak karuan? Bagas. Ya aku harus
kerumah sakit sekarang.
Bergegas
aku turun dari ranjang ku, membersihkan seluruh tubuh ku dan langsung pergi
menemui ibu ku.
“Pagi
Bu...” sapa ku dengan senyuman di bibir ku
“Pagi
sayang” sahut ibu sambil menecup kening ku
“kamu
sudah sembuh?” tanya ibu
“memangnya
aku kenapa bu?”
“dari
semalam kamu demam dan terus memanggil nama Bagas”
Separah itu kan
aku? Ah sudah lah mungkin hanya karena aku
terlalu memikirkan Bagas.
“ya
sudah bu, aku pamit dulu mau kerumah sakit, menemani Bagas” pamit ku mencium
tangan wanita yang paling aku sayang.
“Tunggu
nak! Kamu tidak perlu kerumah sakit lagi” Perasaan itu muncul kembali.
“kenapa
bu?”
“Bagas...Bagas
sudah meninggal nak, tadi pagi ia di
makamkan” kata –kata ibu bagaikan petir yang menyambar hati ku, aku hanya
terperanga, diam terpaku hanya air mata yang mulai mengalir deras dari mata ku.
Ibu memeluk ku pelukan yang menenangkan namun guncangan itu lebih kuat dari tenangnya
pelukan ibu.
“Nggak!
Ibu pasti bohong kan?! Ibu bercanda kan?! Nggak mungkin Bagas pergi ninggalin
aku bu! Nggak mungkin! Dia udah berjanji sama aku nggak bakalan ninggalin aku
bu! Ibu bohong! Bagas masih menunggu aku di rumah saakit bu, pasti ibu salah!”
pekik ku histeris, Meronta dan menjerit.
“sabar
Nadya... Sabar Nak”
“nggak
Bu! Bagas... BAGAS!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Mungkin mimpiku tadi adalah pesan terakhir dari
orang yang paling aku cintai, Bagas