Di sebuah pematang sawah ku berdiri tegak
memandangi langit-langit cerah dengan sedikit kabut putih yang sejuk,
mataharipun masih malu-malu untuk menampakkan cahayanya, burung-burung pipit
mulai berkicau bersahut-sahutan diatas rindangnya pohon-pohon randu. Semuanya
masih sama semenjak 10th silam, sejak aku meninggalkan tanah kelahiran ku ini
untuk merantau ke kota.
Tiba-tiba terdengar sayup sayu seorang
wanita meneriakan “Sayur...sayur Bu...” Terlihat samar-samar wanita itu diseberang jalan, ku hampiri ia yang sedang duduk
bersimpuh di pinggir jalan mengenakan baju
lusuh dengan selendang yang mengalung di lehernya beserta keranjang
besar di sampingnya.
“Sri...?” panggil ku lirih
“Mas Tarjo...?” ia menengok kebelakang
sambil memandangku dengan tatapan gugup.
“apa kabar Sri?” tanyaku sambil duduk
disampingnya.
“Baik Mas, bagaimana dengan keadaan mas?”
“Alhamdullilah, baik Sri” terheran-heran
aku melihat wanita di depan ku ini walaupun ia mengenakan pakaian yang lusuh
namun kecantikannya tak dapat di sembunyikan.
“Ada apa mas? Mengapa melihat ku seperti
itu? Pasti mas heran dengan penampilan ku ini kan?” ucap Sri membuyarkan
lamunan ku.
“apa yang terjadi pada mu Sri?”
Ku lihat air mata yng mulai tersumbul dibalik pelupuk
matanya, bayangan nya menerawang jauh mengingat peristiwa 10th yang lalu, dan
ia pun mulai bercerita tentang dirinya dan keluarganya...
“sepuluh
tahun yang lalu... dua minggu setelah mas pergi ke kota, penyakit bapak kambuh
lagi malahan semakin parah, sudah berobat kemana-mana tapi tidak ada hasilnya
mas. Sampai akhirnya bapak mau untuk di operasi tapi Tuhan berkehendak lain
mas, bapak telah berpulang ke Rahmatullah”
Isak tangis wanita itu telah menyayat hati ku, air mata tak
dapat di bendungnya lagi dan ia pun melanjutkan ceritanya.
“dan semenjak
bapak meninngal, Ardi adik Sri menjadi Brandal mas, kerjaannya hanya
mabuk-mabukan sampai-sampai dia di garuk polisi karena positif mengkonsumsi Narkoba mas” tangisnya makin menjadi
“dan ibu...ibu sudah renta dan ia mulai sakit-sakitan mas,
akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih untuk bekerja dan
menghidupi ibu dan kedua adik saya yang masih kecil, Mas”
Air mata terus menggenangi mata sayu itu sambil terus
memanggil nama Bapaknya, ia pun tertunduk dalam ku pegang pundaknya dengan
lembut.
“Sri, Maafkan
aku aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih dan menangis seperti ini”
serasa tersadar dari lamunan ia mengangkat wajahnya dan menyeka air matanya itu
dengan sebuah selendang yang mengalung di lehernya.
“Ndak papa
mas, maaf mas saya harus melanjutkan jualannya keburu siang, nanti Ndak laku.
Permisi Mas” wanita itu berjalan sambil menggendong keranjang besar penuh
dengan sayur-sayuran, ia menghilang di pertigaan gang pertama.
Aku pun
kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang tidak rata sambil membayangkan
senyum manis Sri sahabat kecil ku yang kini senyum itu telah menghilang dari
kehidupannya.
Selesai...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar